Oleh: Asmin Syarif Jarre'

Di tepi Tanjung
Aku menatap rembulan menari
Bersama bayangmu
Bisikan ombak usik jiwaku
Tumpahkan keluh kesah
Pada muara luas tanpa makna
Aku hanyut dalam lamunan
Saat kuajak rembulan
Berlayar di tengah Tanjung
Angkuh dan rindu jadi saksi
Aku berteriak........................
Kuburlah jasadku dalam sepi

Aku berdiri menatap luas pantai Tanjung seraya menghembuskan nafas ketegaran. Malam itu aku mencoba jadi laki-laki jujur dengan suasana batin yang kualami kepada sosok perempuan yang kunamai Rembulan. Sepetak sajak yang kujahit di atas adalah manifestasi dari luapan perasaan yang mendalam tak dapat lagi kubendung saat ia temani malamku bercerita, dan aku yakin itu jati cinta. Sesungguhnya aku benar-benar hanya ingin mencurahkan tumpukan perasaanku padanya. Sangat berat malam itu aku mengatakannya, akan tetapi malam itu juga adalah waktu tepat untuk mengatakan sebenarnya.
Sudah lama aku menjanjikan suatu hal padanya. Sebuah pernyataan perasaan tak terelakkan kehadirannya, namun aku selalu membisu. Tahu tidak, mengapa aku hanya memilih bungkam? Salah seorang sahabat dekatnya juga sahabatku dan bahkan aku menganggapnya adik layaknya lahir dari satu rahim menginginkan keberadaanku tidak hanya sebatas kakak dan adik. Istana keakraban kubangun dengan pondasi kasih sayang ternyata ia terjemahkan lain. Wati sahabat yang kuanggap adik itu menaruh hati yang dalam kepadaku. Wati pun memilih memasung bibirnya. Ia sama sekali tak memiliki keberanian di hadapanku untuk berkata jujur. Maklumlah, namanya juga perempuan selalu berprinsip bahwa tidak mungkin ia yang pertama mulai. Lalu mengapa aku tahu jika sesungguhnya Wati menginginkan aku jadi kekasihnya? Sahabatnya sendiri yang pernah memberitahuku tentang perasaan yang terpendam selama ini. Aku sendiri menganggap bahwa perasaan itu adalah suatu potensi dasar manusia dan itu adalah haknya untuk mencintai siapa saja.
Semuanya berjalan begitu saja, tak ada yang berubah. Kejujuran sahabatnya membuatku makin tertutup pada Indri, sahabatnya yang kuberi nama Rembulan pada malam perpisahaan akhir semester dua di bawah gubuk kecil menepi di pantai Tanjung. Malam itu tidak hanya ada aku dan Indri, tapi ada sepuluh sahabatku yang turut meramaikan ributnya hamparan ombak yang deras berbisik pada pasir pantai.
Tiba-tiba HPku berbunyi. Ternyata panggilan masuk dengan nomor yang belum tersimpan di Hpku. Setelah aku angkat ya...., tak ada suara apa-apa, ternyata hanya miscall saja. Saat itu, secara tidak sengaja aku melihat waktu di HPku dan ternyata sudah menunjukkan pukul 03.00. Indri yang  duduk di sampingku terus mendesakku untuk mengatakan hal yang sangat aku rahasiakan kepadanya, sesuai janjiku di bulan kemarin.
”Sebenarnya ada apa?" Tanya Indri denagn wajah bingungnya.
Pertanyaannya itu hanya kujawab dengan sepintas tawa, setelah itu aku diam. Indri kembali mengulang pertanyaannya. Ia sedikit lebih mendesak dengan nada merayu.
"Aku sudah cukup penasaran. Sekarang tolong jawab dengan jujur, sebenarnya ada apa? Kenapa bibirmu begitu terpasung?"
"Baiklah kalau begitu. Tapi tolong kamu jangan marah!" Akhirnya kebisuanku berakhir.
"Ok, aku janji tidak akan marah walau sesuatu itu menyakitkan."
"Sejujurnya pernyataan ini amatlah berat bagiku, tapi harus bagaimana lagi, kamu terus menuntut dan itu juga adalah ikrarku padamu bahwa setelah dari Surabaya, aku akan mengatakan semuanya. Selama ini kamu dan teman-teman yang lain selalu mendesak agar aku mau menjadikan Wati sebagai kekasih. Aku sudah berulang kali mengatakan bila perasaan yang kemudian terinternalisasi dan hidup besar bersama jiwaku itu hanya sekadar ingin bersahabat dengan dia. Aku juga pernah mengatakan bahwa Wati sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Namun, kau dan teman-teman tidak pernah paham akan hal tersebut. Satu lagi, ternyata keakraban kita selama ini menggugah jiwaku, memaksa aliran darahku menggumpal dan membentuk wajahmu di relung hatiku. Kaulah yang sebenarnya aku inginkan sebagai kekasih, bayangmulah yang selalu temani sunyi dan sepiku."
"Sejak kapan kau suka padaku," ucapnya padaku.
"Sejak keakraban di antara kita sudah terjalin. Sejak itu pula aku menyisipkan wajahmu di sisi kanan  jantungku dan hatiku bergetar sebagai  persaksian yang kelak akan membuktikan kebenaran dan kemurnian dari sebuah perasaan yang belum menemui muaranya. Saya teringat sajak sederhana yang pernah dilontarkan sahabatku. Perasaan cinta lahir dari rahim kebenaran dan cinta itu akan menemui muaranya sendiri". Seutas cucuran jiwa itu menambah niatku untuk menjadikan kau sebagai seorang kekasih". Ceramahku padanya, namun belum juga berhasil meyakinkannya.
Mendengar cucuran jiwa yang kumuntahkan padanya, ia pun tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah tak percaya dengan kata-kataku. Ia bungkam selama beberapa menit. Aku pun demikian, bibirku mulai kaku tersipu malu. Aku menunggu ia bertutur, namun tak satu pun kata tercipta dari bibir kecil yang layu terbawa dinginya Tanjung. Aku kembali mendahuluinya bertutur dan meyakinkannya.
"Aku tahu kamu pasti tak percaya padaku, selain itu memang aku tak pantas menjadi seseorang yang berarti di sisimu sebagai perempuan baik penuh kesederhanaan". Tegasku.
"Betul aku tidak percaya padamu. Ini bukan pertama kali kamu lakukan, sudah berulangkali terjadi pada teman-teman. Buktinya kamu tidak pernah serius, aku juga tahu bahwa kamu hanya mengujiku. Iya kan?
"Terserah kamu mau bilang apa. Aku tak berharap penuh bahwa kesatuan jiwa akan terjalin, karena aku pahami latar belakang dan posisimu sebagai seorang sahabat. Sekali lagi, aku tak akan menuntutmu untuk menjadi seorang kekasih". Tegasku padanya sambil menatap tajam kedua bola matanya.
”Jujur bukan hanya kamu seorang yang naksir padaku. Sudah banyak laki-laki sebelum kamu suka padaku, sayang padaku, cinta padaku, namun tak seorang pun yang mampu membuka pintu hatiku. Hatiku telah tertutup rapat dan kuncinya telah kuleburkan bersama sepinya kesendirianku, aku juga tidak begitu percaya lagi dengan seorang laki-laki. Kamu harus tahu itu".
Suasana makin hening. Sebatang rokok pun habis aku hisap. Aku mencoba mengganti topik pembicaraan, terpatri dalam jiwa sebuah keinginan untuk mengajaknya menatap bulan sabit dan diwarnai bintang gemintang yang cerah. Beberapa utas sajak tercipta di luar rel kesadaranku. Aku tampak puitis padahal sesungguhnya aku bukanlah seseorang yang pandai merangkai kata.
Tiba-tiba ia spontan menyindirku, "Kamu merokok juga ya....". ucapnya seolah melarang aku merokok. "Ah...Cuma sekali-sekali, biasanya sih....satu batang dalam satu minggu. Itu pun Cuma orang lain yang kasih". Jawabku.
Malam terus terkikis oleh beranjaknya waktu cumbui pagi. Aku dan teman-teman berlarian di tepi pantai, bermain ombak serta melukis nama masing-masing pada pasir yang tersapu ombak. Setelah itu, aku pamit pada teman-teman.
"Ayo semua........, aku duluan ya, masalahnya aku tidak bawa helm".
Semua teman-teman serentak mengatakan "Hati-hati di jalan". Aku pun bergegas meninggalkan tempat. Akan tetapi sedetik sebelum aku meninggalkan tempat, aku menatap luas pantai Tanjung yang penuh dengan gulungan ombak. Batinku berbisik, "Sahabatku, kuburlah jasadku dalam sepi". ###
3 Komentar untuk "KUBUR JASADKU DALAM SEPI"

Serumpun Kata © 2015. All Rights Reserved.
Template HITAMZ V.4 By SEOCIPS , Powered By Blogger